![]() |
| Foto Konferensi Pers Yang Di Gelar Di Merauke |
Merauke, 15/10/2022. Penolakan Rencana Pembangunan Bendungan Digoel di Kali Muyu Distrik Ninati Kabupaten Boven Digoel kembali ditolak dengan tegas oleh Komunitas Forum Nupka Masyarakat Muyu Lintas Kabupaten yang berpusat di Kabupaten Merauke. Dikatakan oleh Katayu Damianus dalam Konferensi Pers bahwa Penolakan Rencana Pembangunan Bendungan Digoel bukan satu hal yang baru, melainkan di tahun 2018 kami sudah lakukan penolakan bersama Bupati Kabupaten Boven Digoel, Toko Adat, Agama dan Pihak dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua Merauke. Alasan lain juga di sampaikan bahwa penolakan rencana pembangunan bendungan Kali Digoel ini adalah Karena ;
1. Kali Muyu dan Ninati itu adalah tempat sejarah dan bukti peradaban Misi Katolik masuk di Tanah Muyu, bukti beradapan Manusia Muyu hari ini, itu keluar dari Ninati.
2. Kali Muyu atau Sungai Muyu, itu nama identitas Manusia Muyu hari ini
3. Mempertimbangkan aspek ekologi, Lingkungkungan, ekonomi, serta sosial dan budaya masyarakat suku Muyu, termasuk situs-situs budaya yang dalam bahasa Muyu dikatakan “Ketponbon”
Alasan lain disebutkan oleh Katayu bahwa penolakan bendungan itu muncul ketika ada pergerakan awal penolakan rencana pembangunan bendungan di tahun 2018, kemudian menghilang dan muncul lagi di tahun 2021 hingga tahun 2022. Hal Ini Kemudian menjadi dinamika Internal di masyarakat Muyu yang sangat panas. Dampak dan Implikasih terhadap Manusia Muyu ini yang terus disoroti oleh masyarakat Muyu itu sendiri, dan masyarakat Muyu terus meyakinkan Pemerintah bahwa, apakah tidak ada alternatif lain model pembangunan yang bisa didorong oleh pemerintah, selain pembangunan bendungan ini.
Hari ini masyarakat Muyu katakan bahwa pembangunan bendungan yang di rencanakan Pemerintah, itu bukan sebuah kebutuhan yang mendesak, seperti kebutuhan Listrik yang dipaksakan. Akan tetapi kebutuhan yang masyarakat butuhkan adalah akses pendidikan, kesehatan, infrastuktur jalan, jembatan, perumahan layak huni, dan sarana transportasi, itu jahu lebih penting ketimbang, pemerintah mendorong pembangunan bendungan.
Katayu juga menambahkan bahwa, berapa jumlah penduduk masyarakat asli orang Muyu yang berada disekitaran Ninati, dan Waropko, yang sebagian besar sudah keluar. Secara ekonomi masyarakat yang berada di kampung, mereka belum bisa bersaing untuk memenuhi kebutuhan kenetagakerjaan ketika pembangunan itu di paksakan. Sebab semua harus mengikuti proses seperti harus memiliki modal, memiliki keterampilan berwira usaha yang standar, memiliki kios berskalah distributor, punya bengkel dan keahlian, punya warung makan, punya cafe, ruko, dan tempat penginapan ketika bendungan itu dibangun. Semua ini tidak sebanding dengan apa yang dipikirkan dengan kami dari kata-kata klasik yang sering disebut seperti untuk membuka lapangan kerja dan kesejahterahan, siapa yang mau disejahterahkan.
Sebab kalau ini dipaksakan untuk dibangun, maka ada kekuatiran kami Yang pertama bahwa masyarakat akan berimigrasi ke dusun tetangga, dan ini kalau menurut tradisi kami bahwa akan menimbulkan satu masalah baru diantara kami sesama manusia Muyu.
Yang kedua bicara Muyu berarti bicara Manusia Muyu yang memiliki satu kesatuan dari Muyu bawah Klen Kamindip sampai dengan Muyu atas Klen Ninggrum. Jadi hari ini, kami bicara Kali Muyu berarti sumber kehidupan orang Muyu ada di situ, di Kali Muyu. Kalau bicara soal pembangunan bendungan di Ninati, jangan lupa bawah itu bukan hanya milik saudara/I di Klen Jonggom, tapi juga ada Klen Kakaip di bawah bagian aliran Kali Muyu, ada juga Klen Kamindip di bagian Muara kali Muyu, Are kasaud di bagian tengah Kali Muyu dan ada Klen Ninggrum di atas Kepala Kali Muyu.
Kita tidak bisa bisa spot – spot atau marga – marga, kalau kita bicara marga-marga dampaknya juga akan kena kepada marga-marga di klen klen lain, sehingga kami berharap kepada Pemerintah Pusat, Daerah dan Kabupaten harus memperhatikan hal yang ini. Pihak lain juga dalam hal ini Gereja Katolik, kami masyarakat Muyu berharap Gereja Katolik melihat dan mempertimbangkan hal ini. Mengapa kami sampaikan dan lakukan ini, karena Kali Muyu merupakan situs sejarah Gereja Katolik Masuk di Tanah Muyu, mulai dari situ awal mula peradaban Suku Muyu berkembang, tutup katayu.
Selanjudnya Ketua Klen Are Kasaud Marius Bunmop mengatakan bawah Rencana Pembangunan Bendungan Digoel berawal juga di tahun 2018, kami sudah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak pada tanggal, 01 September 2018. dihadiri oleh Bupati Boven Digoel Alm. Benediktus Tambanop, Pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua Merauke, Tokoh Adat, LMA Kabupaten Boven Digoel, Ketua Dewan Adat Suku Muyu, Forum Solidaritas Masiswa Papua Selatan dan Masyarakat serta di hadiri juga Uskup Agung Merauke. Nicolaus Adi Saputra, MSC.
Lihat Juga Pada Halaman : https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=pfbid02Gs8Kr5jN4K24txF47VCWMqvicvgYpugNVH8dTd3AwQbmRSBj62mRS5QMnQTgeRW9l&id=1669900016375924& pembangunan bendungan yang direncanakan dibangun di Kali Kao yang terletak antara 2 suku yaitu suku Muyu dan Suku Wambon. Dalam pertemuan ini kami sepakat Tolak pembangunan bendungan, dan itu kami sudah tanda tangan kesepakatannya.
Marius juga mengatakan bahwa secara adat suku Muyu dan Wambon sudah kuburkan masalah pembangunan bendungan ini dengan menguburkan “batu adat” kedepan persoalan tidak boleh dibuka kembali atau muncul lagi. Sebab, Kedua suku ini, budayanya dan adatnya sama dan hidup dalam satu aliran kali yaitu kali Kao dan Kali Muyu. Apabila batu yang kita kuburkan, siapa yang berani mengeluarkan itu ada sanksi adat, itu menjadi catatan kami orang Muyu dan Wambon. Dengan demikian bahwa, bendungan Digoel yang direncanakan di atas Kali Muyu itu merupakan satu paket/ satu kesatuan aliran kali yang mengalir diantara suku Muyu dan Wambon yang mendiami di sepanjang kali itu. Ini harus saya sampaikan agar kami semua bisa tahu semuanya.
Perwakilan perempuan Muyu Maria Kurupat juga turut menyampaikan bahwa dampak dari perkiraan pengambilan lahan tanah kurang lebih seluas 1.145, 90 an hektar ini bukan hanya diambil di Ninati bagian dari Klen Jonggom saja melainkan akan berdampak luas sampai di wilayah adat suku Muyu Klen lain yang berada di wilayah atas, dan bawah. Berarti Luasan lahan sebesar 1.145, 90 an hektar ini bukan lahan kecil, tetapi lahan besar yang akan berdampak besar dan akan menimbulkan bencana kepada manusia Muyu yang hidup atas tanah tersebut. Manusia Muyu yang hidup dan mencari makan di atas tanah tersebut, ada laki-laki, perempuan, bapa, mama dan anak. Mereka ini akan dibawah kemana, kalau lahan tanah seluas ini di ambil untuk perencanaan pembangunan bendungan. Mereka tidak bisa pindah tinggal di dusun tetangga suku lain, itu sudah tradisi budaya kami suku Muyu.
Maria juga mengatakan dalam kebiasaan Suku Muyu yang terjadi secara turun temurun bahwa untuk mencari makan seperti berburu binatang kami tidak bisa masuk dan berburu di dusun tetangga. Apabilah binatang yang kami panah dan lari masuk di dusun tetangga kami harus beritahu sehingga kami bisa masuk untuk mencari hasil buruan kami yang menyeberang. Apabilah hasil buruan didapat, hasil itupun kami akan bahagi kepada pemilik dusun tersebut.
Hal ini perlu kami sampaikan bahwa Pertama, kami sudah bisa mengukur bahwa, ada kebiasaan- kebiasaan secara adat dan budaya yang tidak boleh dilanggar. Apabila kami melanggar, berarti konsekwensi adat harus ada bagi yang melanggar, termasuk bagi mereka yang datang tinggal dan menetap di tempat atau dusun dari marga lain, ini akan berdampak buruk yang berkepanjangan terjadi, kalau itu dipaksakan.
Kedua, tempat – tempat pemali “Ketponbon” itu akan hilang. Padahal tempat – tempat ini adalah mereka punya nyawa dan kekuatan adat. Apabilah tempat-tempat itu hilang ibarat mereka akan hidup diantara langit dan bumi, ditengahnya. Ibarat Manusia Muyu itu sudah mati, tidak ada nafas, tetapi masih hidup. Di tengah Lahan yang direncanahkan ini juga, ada terdapat Pohon Sagu, Kenari, Karet, Durian, Rambutan, dll yang bisa menghasilkan nilai-nilai ekonomi masyarakat, ini akan hilang seketika. Sehingga, Maria sebagai perempuan Muyu yang melahirkan generasi Muyu “Tidak Setuju”, saya tolak pembangunan bendungan ini. Sebab, saya sebagai perempuan Muyu yang melahirkan anak-anak Muyu, saya mau taruh mereka diatas tanah mana, Kata Maria dengan tegas.
Dampak lain juga dari cerita budaya Suku Muyu terjadinya Air Bha akan di genapi, dalam perjanjian – perjanjian kepada umat. Baca Juga di Halaman https://www.jw.org/id/ajaran-alkitab/pertanyaan/kisah-air-bah-bahtera-nuh/. Karena Daerah Muyu sendiri ada Kali Kao dan Kali Muyu, kami tinggal di bagian urat tanah, jadi kalau di paksakan untuk di bangun bendungan dan apabilah terjadi Gempah, maka flora dan fauna termasuk manusia semunya akan terbawah harus air seperti apa cerita budaya suku muyu dari para leluhur tentang air bha, generasi kami akan habis. Untuk itu, saya sebagai perempuan Muyu, mulai dari dalam kandungan yang mulai membentuk embrio sampai dengan kita yang tua, dari ujung timur sampai barat dan dari utara sampai selatan, Kita menolak pembangunan bendungan di Kali Muyu.
Kemudian Direktur LBH Papua Emanuel mengatakan bahwa, sejak tahun 2018 Masyarakat bersama Bupati Kabupaten Boven Digoel, Uskup Agung Merauke, Juga ada Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua Merauke, unsur adat, dan Mahasiswa mereka sudah menyatakan sikap untuk menolak pembangunan bendungan dan sikap itu mereka sudah kukuhkan dengan pendekan adat dengan menanam batu sebagai bukti penolakan. Ritual adat ini wajib di hargai dan dihormati oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah, agar bisa melihat dan mempertimbangkan kembali rencana pembangunan bendungan di Sungai atau Kali Muyu. Nah, dengan di tolaknya rencana pembangunan di tahun 2018 ini, dan kemudian muncul lagi di tahun 2022, yang kemudian menjadi pertanyaan Kepada kami bahwa ini siapa yang kemudian menginisiasikan. Sebab, didalam Peraturan Presiden tentang Proyek Strategis Nasional. Baca Juga dihalaman : https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176280/Perpres_Nomor_109_Tahun_2020.pdf ini, sudah jelas-jelas disebutkan bahwa rencana pembangunan bendungan di Provinsi Papua itu tidak ada.
Kemudian muncul pertanyaan, bendungan di Sungai Muyu itu, inisiatif siapa. Sedangkan di dalam Perpres tentang Proyek Strategis Nasional, sudah tidak disebutkan rencana pembangunan bendungan tersebut. Juga disebutkan dalam Perda tentang tata ruang wilayah Kabupaten Boven Digoel, dengan jelas menyebutkan bahwa daerah atau kawasan bencana khususnya bencana alam yang berkaitan dengan aliran sungai – sungai yang ditetapkan sebagai daerah rawan bencana, tidak boleh dibangun bendungan. Artinya Sungai Muyu itu sendiri berada pada bagian dari sungai atau kali rawan bencana.
Kemudian kata Emanuel juga bahwa Rencana pembangunan bendungan ini menjadi pertanyaan tersendiri. Apakah Pemerintah Provinsi melihat kawasan sungai ini sebagai kawasan rawan bencana atau tidak, atau Pemerintah Kabupaten Boven Digoel melihat ini juga sebagai daerah rawan bencana atau tidak. Kalau seandainya Pemerintah mengesampingakan hal ini, maka sudah jelas-jelas kami menemukan bawah ada pelanggaran Perda Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boven Digoel yang dilakukan oleh para pihak yang ber inisiatif untuk mendorong pembangunan bendungan ini, entah itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi Papua dan atau Pemerintah Kabupaten Boven Digoel itu sendiri, ini akan menjadi satu temuan dalam pelanggaran RT/ RW itu sendiri.
Selanjudnya berkaitan dengan kepemilikan tanah, kami semua tahu bahwa seluruh wilayah Papua, adalah Tanah Adat baik di darat maupun di laut. Di dalamnya sudah ada pemilik dusun masing-masing wilayah berdasarkan marga yang ada di setiap suku. Akan sangat tidak logis dan tidak etis bahwa apapun pembangunan, termasuk pembangunan bendungan ini, itu dilakukan hanya mendapatkan persetujuan dari satu orang. Orang Papua itu punya banyak marga, Suku Muyu sendiri juga punya banyak marga, mereka mempunyai 7 klen yang didalamnya ada banyak marga. Ini sangat tidak logis bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi Papua, dan Pemerintah kabupaten Boven Digoel berpikir dengan mengambil satu keputusan hanya pada satu orang dari satu marga saja untuk melepaskan tanah adat, itu sangat tidak Logis dan tidak tepat dengan kepemilikan tanah adat yang diakui oleh orang Papua lebih khususnya orang Muyu.
Lebih lanjud dikatakan oleh Emanuel, kalau ada bijakan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan atau Pemerintah Kabupaten Boven Digoel maka kami sudah bisa mengambil satu kesimpulan bahwa Pemerintah sendiri mengiginkan adanya konflik sosial antara marga – marga yang ada dalam komunitas suku Muyu itu sendiri. Ini sangat tidak etis, kalau Pemerintah terus mendorong hanya kepada satu marga saja untuk mengklem bahwa itu semua sudah disetujuhi oleh masyarakat adat dan dilepas. Kami juga tahu bahwa ada undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua file:///C:/Users/Acer/Downloads/UU%20Nomor%202%20Tahun%202021.pdf didalanya jelas mengakui tentang hak-hak masyarakat adat, lebih khusus terkait pemanfatan tanah adat. Pemerintah wajib bicara kepada masyarakat pemilik tanah adat, Karena rencana pembangunan bendungan ini didorong berdasarkan keputusan satu marga sebagai jaminan yang dipakai oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Boven Digoel, dan mereka menganggap ini sudah mewakili semua perwakilan marga dan klen yang ada.
Emanuel yang juga Direktur LBH Papua, sudah bisa menyimpulkan bahwa para birokrat yang adalah orang asli Papua itu sendiri sedang menyangkal adatnya sendiri, dan pasti mereka tahu kepemilikan tanah adat itu, bukan hanya satu marga yang memiliki akan tetapi milik banyak marga dalam satu suku itu. Lebih spesifik Suku Muyu itu sendiri, terdiri dari ada 7 Klen dan dalam 7 Klen itu ada banyak marga. Jadi Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Boven Digoel tidak usah memakai cara – cara yang tidak sesuai untuk menghilangkan eksistensi masyarakat adat dan serta hak-hak dari marga-marga pemilik hak yang ada. Emanuel juga menambahkan bahwa Pemerintah bisa tinjau kembali rencana Pembangunan Bendungan di Kali Muyu, karena Pemerintah hanya mendapatkan kesepakatan hanya dari satu marga saja, dan itu satu orang saja. Ini kan jelas–jelas Pemerintah sedang melanggar hak masyarakat adat yang dijamin dalam UU Otonomi Khusus dan juga UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta pada pasal 18b ayat 2 UUD 1945 yang jelas-jelas mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak-hak yang melekat didalamnya, termasuk tanah adat, air serta pohon dan sebagainya.
Baca Juga dihalaman : https://peraturan.go.id/common/dokumen/lain-lain/1945/UUD1945PerubahanKedua.pdf.
Mengenai Konsultasi Publik, sebelum dilakukan di Bulan Desember Tahun 2021, diketahui bahwa dibulan Pebruari administrasi lainnya sudah keluar, baru dilakukan Konsultasi Publik Perencanaan Pembangunan Bendungan di Kali Muyu, ini apaan. Kan ada asas umum Pemerintahan yang baik. Sehingga Direktur LBH Papua berharap kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan bagian lingkungan hidup Kabupaten Boven Digoel harus melakukan evaluasi kembali, jangan menunjukan praktek-praktek yang tidak professional. Karena kita semua tahu bahwa ASN itu tunduk pada Asas Umum Pemerintahan yang baik, yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan yang bersih dari KKN serta UU Administrasi Negara. Kalau ini prakteknya, bisa saja dilaporkan Kepada Ombusmen RI, dan bisa juga diadukan ke Komisi ASN, karena ada raktek – praktek yang tidak professional dan masih saja dilakukan oleh aparat Negara khususnya di Provinsi Papua dan lebih spesifik di bagian Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Dinas Perijinan Satu Pintu.
Nah, Ini Penting dan perlu sekali dilihat karena masih saja ada praktek – praktek tidak profesional yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara yang bisa berdampak buruk bagi lingkungan serta manusia yang ada di daerah rencana pembangunan itu. Pemerintah Kabupaten Boven Digoel juga harus komitmen dengan Peraturan Daerah tentang rencana tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan dan dibentuk mengenai Daerah Rawan Bencana, ini harus di jaga dan dilindungi. Sangat lucu, kalau Pemerintah sendiri sudah mengetahui dan mencanangkannya, sama saja Pemerintah sendiri yang akan mengorbankan masyarakatnya menuju Korban bencana alam yang akan terjadi.
Kaitannya dengan bendungan, bahwa kebutuhan listrik di Kabupaten Boven Digoel yang sudah ada saat ini dengan plening di dalam rencana tata ruang wilayah terkait pengadaan pembangkit listrik tenaga disel di setiap distrik, itu mungkin menjadi satu alternatif yang tepat. Dari pada membangun bendungan besar yang akan mengorbankan sekian banyak elemen di sana baik itu tanah adat, manusia, hewan dan tumbuhan. Dengan mendorong adanya pembangkit listrik tenaga disel disetiap distrik, ini bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Lalu kemudian bendungan tenaga besar yang mau dibangun disana, mau disiapkan untuk siapa, yang sudah jelas–jelas tidak ada di dalam Proyek Strategi Nasional. Berarti ini bukan kepentingan masyarakat, namun ada kepentingan lain.
Kemudian, pembangunan bendungan ini tidak masuk dalam Proyek Strategi Nasional, maka ini bukan objek Vital Negara, dengan demikian Direktur LBH Papua memintah dengan tegas kepada Pihak Keamanan dalam hal ini TNI/ Polri untuk tidak berpartisipasi dalam agenda ini, kenapa hal ini di sampaikan karena jangan sampai kemudian terjadi praktek – praktek kekerasan ataupun teror-teror kepada masyarakat untuk kemudian memaksa untuk membangun bendungan disana. Hal ini juga kami belajar dari praktek-praktek yang terjadi di tempat lain. Selanjudnya terkait dengan Keputusan Presiden RI tentang perlindungan Objek Vital Negara, itu hanya bisa dilakukan kepada perusahan yang masuk dalam kategori Objek Vital Negara. Maka pembangunan bendungan tidak ada di dalam Objek Vital Nasional, sehingga disimpulkan bahwa pembangunan bendungan ini bukan sebagai Objek Vital Negara.
Dengan demikian Direktur LBH Papua berharap kepada TNI/ Polri agar tidak berpartisipasi dalam persoalan ini. Kalaupun itu ada berpartisipasi, kami akan kritisi sesuai UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang melarang keterlibatan TNI di dalam Bisnis. begitupun Polri dengan dasar UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian yang dilarang anggota kepolisian terlibat dalam kegiatan bisnis. Kenapa hal ini disampaikan karena kegiatan pembangunan proyek bendungan ini, adalah kegiatan aktifitas bisnis disana.
Sementara rencana pembangunan bendungan Digoel di Kali Muyu, kami ketahui bahwa masyarakat Muyu sudah menolak. Sehingga Emanuel berharap tidak terjadi pro – kotra dan terjadi kekerasan dalam upaya masyarakat untuk menolak pembangunan bendungan digoel di Kali Muyu.
Dalam acara ini juga turut hadir, Walhi Papua, dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dalam acara Konferensi Pers Bersama LBH Papua dan Masyarakat Muyu. Dalam dukungan ini tidak terlepas dari latar belakang keperpihakan lembaga kami masing – masing, dan mereka selalu ada untuk masyarakat yang sudah jelas – jelas tidak mampu, buta akan hukum untuk memperjuangkan hak – hak masyarakat. Akhirnya Emanuel tegaskan agar Pemerintah Kabupaten Boven Digoel untuk segera menghentikan Proyek Rencana Pembangunan Bendungan Digoel di Kali Muyu yang akan berdampak buruk bagi eksistensi masyarakat adat di tanah Muyu itu sendiri.
Wirya Supriyadi, dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua juga mengatakan bahwa, mereka juga memandang hal yang sama terkait apa yang sudah disampaikan terkait filosopi dan aspek – aspek dari masyarakat adat itu sendiri. Karena relasi ini jahu sudah dibangun sejak ribuan tahun lalu. Sehingga, apabila pembangunan bendungan di Kali Muyu dipaksakan dan diteruskan untuk dibangun, maka akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Sehingga WALHI Papua mendesak kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Boven Digoel untuk menghentikan pembangunan Proyek DAP dari Program dana bantuan yang bersumber dari Asian Development Bank (ADB).
Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga mengatakan bahwa masyarakat adat itu, sudah mempunyai hak–hak itu sebelum Negara ini terbentuk, hak yang melekat. Sehingga seluruh pembangunan yang direncanakan oleh Negara dan Swasta, wajib melindungi hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat juga sudah menyatakan penolakan terhadap rencana pembangunan bendungan, maka Kementrian PUPR, Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan atupun Pemda wajib menghormati dan melindungi masyarakat adat dengan cara menghentikan seluruh proses Amdal yang berlangsung di tanah Muyu. Jika itu tidak di lakukan, maka dikwatirkan pemerintah dan pihak-pihak terkait sudah melakukan pelanggaran hak terhadap masyarakat adat muyu dan hak-haknya di atas tanah mereka.
Pemerintah juga sedang masif melakukan pembangunan inftrastruktur yang sebagian besar kegiatan dananya diperoleh dari pinjaman hutang luar negeri. Di Papua sendiri ada 2 bendungan yang sedang disiapkan, pertama di Sorong dan yang kedua di Boven Digoel, ini di biayai oleh Asian Development Bank (ADB), melalui pinjaman atau hutang. Kami melihat bahwa jangan sampai rencana pembangunan – pembangunan pemerintah itu mengorbankan hak-hak masyarakat, sehingga masyarakat yang harus membayar hutang yang dibuat oleh Negara dengan mengorbankan lahan tanah adat yang sudah dimiliki oleh masyarakat adat, sejak dahulu.
Tigor dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga memintah kepada Asian Development Bank (ADB) agar memperhatikan dan tidak meneruskan pinjaman kepada proyek – proyek yang bermasalah dan lahan tanahnya yang di tolak oleh masyarakat adat, itulah cara menghormati dan melindungi masyarakat adat.
Sebagai Closing Statement, Komunitas Forum Nupka Masyarakat Muyu Lintas Kabupaten, Katayu Damianus mengatakan bahwa Manusia Muyu semua sepakat bahwa Rencana Pembangunan Bendungan Digoel di Kali muyu di tolak. Bukan berarti kita menolak pembangunan, akan tetapi kami merekomendasikan pembangunan yang rama lingkungan, pembangunan yang mempertimbangkan aspek kemanusian jahu lebih penting dari pada pembangunan bendungan berskala besar yang akan merusak manusia, alam dan budaya kami. (AKM)
